skip to Main Content

Sistem Pewarisan di Minangkabau

Waris merupakan barang yang ditinggalkan oleh seseorang yang sudah meninggal dunia kemudian diterima oleh ahli warisnya bisa berupa harta pusaka tinggi, pusaka rendah ataupun gelarannya.

Seseorang yang mengatakan bahwa dia menerima amanah dari orang lain atau mamaknya sendiri kemudian dia mendakwakan dirinya sebagai “ahli waris”. Sebenarnya dia belum lagi “menjawat waris” itu namanya baru menjawat tutur atau menjawat kata. Belum tentu lagi dia pewaris harta pusaka atau gelaran itu. Yang dikatakan menjawat waris ini adalah waris penghulu yang dijawat. Ahli jawat yang menjawat waris ini sako atau turunan namanya. Adapun turunan ini ada dua jenisnya. Turunan dari bapak (patriachaat) dan turunan dari ibu (matriarchaat).

Baca juga: Fungsi mamak di minangkabau

Dalam adat Minangkabau yang menjawat waris ini adalah keturunan dari pada ibu sebab Minangkabau berbentuk matriarchaat. Sehingga anak dari baris ibu yang menjadi ahli waris atau dinamakan kemenakan. Jadi seseorang penghulu meninggal maka kemenakannya yang menjawat gelarannya sebab otomatis dia akan menguasai pula harta pusaka dari almarhum mamaknya. Tetapi bukan berarti dia boleh leluasa berbuat dengan harta pusaka itu sebab ada pula ketentuan-ketentuannya. Dikarenakan harta itu ada pula jenis-jenisnya: harta pusaka tinggi, pusaka rendah, harta pencaharian, harta surang, harta serikat (sekutu) dll.

Kalau seorang anak ayahnya adalah penghulu suatu kamu bukan berarti dia akan berhampa tangan dari pusaka ayahnya yang menjadi penghulu itu. Si anak boleh menerima harta pusaka itu dengan syarat-syarat tertentu yang bernama hibah.

Demikianlah sistem pewarisan di Minangkabau

 

Karya: H. Datoek Toeah, penghulu kaum Koto Nan Gadang Payakumbuh. ( …. – 22 September 1965)

Penerbit: Pustaka Indonesia Bukittinggi (cet; XII – 1985)

Back To Top