skip to Main Content

Sejarah Suku Minangkabau

Mitos Sejarah Suku Minangkabau | Entah bagaimana hubungannya dengan Minangkabau tetapi Iskandar Zulkarnain atau Alexander de Grote memang ada, yaitu Raja dari Masedonia yang hidup antara tahun 356 dan 323 sebelum masehi.

Iskandar tertarik melihat kecantikan seorang puteri penguasa dinegeri Ruhum yang bernana Hatta. Dan dilamarnya kepada ayahnya sehingga kawinlah baginda dengan puteri itu. Iskandar bertahta dalam kerajaan itu dihormati dan dimuliakan rakyat menurut patutnya.

Dengan puteri itu Iskandar mendapat tiga orang putera. Seorang dinamakan: Sultan Maharaja Alif, seorang bernama Sultan Maharaja Depang, dan seorang lagi bernama Sultan Maharaja Diraja. Kepada maharaja Depang ditunjuk arah kenegeri Cina. Dan kepada putera yang bungsu yakni Maharaja Diraja arah kepulauan didaerah Khatulistiwa disebelah selatan.

Setelah Raja Iskandar wafat masing-masing putera itu berangkat menuju daerah yang sudah ditunjukkan oleh almarhum ayahnya. Maharaja Diraja membawa mahkota yang bernama “mahkota sanggahana” itu. Sultan Maharaja Depang membawa semacam senjata yang bernama “jurpa tujuh menggangkanai sumbing seratus tiga puluh namanya”. Dan Sultan Maharaja Alif membawa senjata keris bernama “keris sempama ganja iris” dan lela yang tiga pucuk, sepucuk jatuh kebumi dan sepucuk kembali kepada asalnya jadi mestika dan geliga dan sebuah pedang yang bernama Sabilullah.

Menurut Tambo Alam Minangkabau berlayarlah bahtera yang membawa ketiga orang putera itu menuju ke timur, menuju pulau Lankapuri. Dan setiba ditengah lautan baharullah dekat pulau Sailan timbulah niat buruk dihati anak raja yang berdua.

Karena takut Maharaja Diraja menyerahkan mahkota itu kepada kedua abangnya. Tetapi sial ketika menerima mahkota itu terjatuhlah mahkota itu kedalam laut, dan jatuh keatas setumpak karang dalam laut itu. Maka bangkitlah seorang pengiring Sultan Maharaja Diraja bernama “Cateri Bilang pandai” maka dibangunkannya Sultan Maharaja Diraja. Dengan isyarat diberitahukannya kepada raja itu bahwa raja tak usah merasa kecewa dengan kehilangan mahkotaitu sebab dia akan menciptakan duplikat dari mahkota yang hilang itu.

Dengan sebuah teropong, cermin polongan kaca dilihatnya mahkota yang sudah berada dalam laut itu. Adapun mahkota itu terselip dibatu karang dan cahayanya mencar-mancar juga. Dan itulah keahlian bertukang emas dan perak. Baginda sangat heran melihatnya tetapi sangat bersuka cita. Sekalipun mahkota itu hanya tiruan dari yang asli. Dan ketiga putera itu berpisahlah disana. Maharaja Depang terus kenegeri cina dan Maharaja Alif kembali kenegeri Rum. Dia mempunyai kesaktian yang bernama “emas tukal tapawi”.

Adapun Maharaja Diraja terus pula berlayar menuju ketenggara menuju sebuah pulau yang bernama Jawa Alkibri. Beberapa lamanya berlayar kelihatanlah sebuah puncak gunung yaitu puncak gunung Marapi di Minangkabau. Ketika itu daratan belum luas sebahagian masih diliputi oleh lautan. Maka ditujukan bahtera kesana dan mendarat didekat puncak gunung itu.

Dalam pada itu laut sudah menyentak surut juga. Dibawah kaki gunung Merapi sudah terbentang sebuah dataran yang amat luas. Dengan kekuasaan Tuhan datanglah awan putih empai jurai yang bertiup ke daerah-daerah yang sudah luas itu. Sejurai merunduk ke luhak Agam, sejurai ke luhak Tanah Datar, sejurai ke luhak Lima Puluh Kota dan yang sejurai lagi ke Candung Lasi.

Daulat yang pertama-tama ialah daulat kepada Lakandibida namanya. Itulah kemudian hari yang ditempati oleh ninik mamak yang berdua Ketemenggungan dan Perpatih nan Sebatang. Mereka semua bersumpah sakti, berjanji erat akan bekerja sama dalam pembangunan negeri-negeri.

Karya: H. Datoek Toeah, penghulu kaum Koto Nan Gadang Payakumbuh. ( …. – 22 September 1965)

Penerbit: Pustaka Indonesia Bukittinggi (cet; XII – 1985)

Back To Top